Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Inkuiri
Ida Bagus Putrayasa
IKIP Negeri Singaraja
Pendahuluan
Fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah: (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (4) sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah, dan (5) sarana pengembangan penalaran (Parera, 1997). Sementara itu, di dalam GBPP Bahasa Indonesia (1993) disebutkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia selain untuk meningkatkan keterampilan berbahasa, juga untuk meningkatkan kemampuan berpikir, bernalar, dan kemampuan memperluas wawasan.
Dalam pembelajaran, fungsi dan tujuan yang tersebut di atas tidak secara serempak dapat dicapai, tetapi satu per satu bergantung pada fungsi atau tujuan mana yang diprioritaskan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengajak audience untuk memfokuskan perhatian pada fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai sarana pengembangan penalaran. Untuk mencapai fungsi tersebut, maka salah satu model pembelajaran yang ditawarkan di sini adalah model inkuiri. Selanjutnya, tentang model inkuiri ini akan dibicarakan pada bagian pembahasan. Sebagai unsur pendukung dalam proses belajar mengajar, materi yang akan dikaji adalah grammar (tata bahasa, khususnya kalimat). Materi grammar ini diangkat sebagai tanggapan atas jawaban angket dari sebelas orang pembelajar calon guru bahasa Indonesia di primary school yang menyatakan bahwa lima pembelajar mengharapkan pengajaran struktur dengan lebih terurai, malahan ada yang menyatakan bahwa grammar itu bersifat esensial (Mulyono, 1999). Di samping itu, grammar perlu diajarkan (bagi penutur asing) karena kompetensi gramatikal merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan kaidah suatu bahasa bagi kebutuhan komunikasi (Johnson dalam Syamsuddin, 1999). Pada umumnya, pembelajar yang mempunyai nilai kompetensi kebahasaan tinggi, akan tinggi pula nilai keterampilan berbahasanya. Hal ini dapat dimengerti sebab tindak berbahasa tidak lain daripada pengoperasian kompetensi kebahasaan yang dimilikinya. Oleh karena itu, baik tidaknya kompetensi kebahasaan pembelajar, pada umumnya akan mencerminkan baik tidaknya keterampilan berbahasanya (Nurgiyantoro, 1995).
Pada bagian ini dibicarakan: (1) pengertian inkuiri, (2) lingkup materi pembelajaran, (3) langkah-langkah pembelajaran dengan model inkuiri, serta (4) dampak instruksional dan dampak penyerta model inkuiri.
2.1 Pengertian Inkuiri
Model inkuiri didefinisikan oleh Piaget (Sund dan Trowbridge, 1973) sebagai: Pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri; dalam arti luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbul-simbul dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan yang lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan yang ditemukan orang lain.
Kuslan Stone (Dahar,1991) mendefinisikan model inkuiri sebagai pengajaran di mana guru dan anak mempelajari peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala ilmiah dengan pendekatan dan jiwa para ilmuwan.
Pengajaran berdasarkan inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa di mana kelompok-kelompok siswa dihadapkan pada suatu persoalan atau mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu prosedur dan struktur kelompok yang digariskan secara jelas (Hamalik, 1991).
Wilson (Trowbridge, 1990) menyatakan bahwa model inkuiri adalah sebuah model proses pengajaran yang berdasarkan atas teori belajar dan perilaku. Inkuiri merupakan suatu cara mengajar murid-murid bagaimana belajar dengan menggunakan keterampilan, proses, sikap, dan pengetahuan berpikir rasional (Bruce & Bruce, 1992). Senada dengan pendapat Bruce & Bruce , Cleaf (1991) menyatakan bahwa inkuiri adalah salah satu strategi yang digunakan dalam kelas yang berorientasi proses. Inkuiri merupakan sebuah strategi pengajaran yang berpusat pada siswa, yang mendorong siswa untuk menyelidiki masalah dan menemukan informasi. Proses tersebut sama dengan prosedur yang digunakan oleh ilmuwan sosial yang menyelidiki masalah-masalah dan menemukan informasi.
Sementara itu, Trowbridge (1990) menjelaskan model inkuiri sebagai proses mendefinisikan dan menyelidiki masalah-masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, menemukan data, dan menggambarkan kesimpulan masalah-masalah tersebut. Lebih lanjut, Trowbridge mengatakan bahwa esensi dari pengajaran inkuiri adalah menata lingkungan/suasana belajar yang berfokus pada siswa dengan memberikan bimbingan secukupnya dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmiah.
Senada dengan pendapat Trowbridge, Amien (1987) dan Roestiyah (1998) mengatakan bahwa inkuiri adalah suatu perluasan proses discovery yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa. Sebagai tambahan pada proses discovery, inkuiri mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan masalah, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, menumbuhkan sikap objektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka dan sebagainya.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa inkuiri merupakan suatu proses yang ditempuh siswa untuk memecahkan masalah, merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Jadi, dalam model inkuiri ini siswa terlibat secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu permasalahan yang diberikan guru. Dengan demikian, siswa akan terbiasa bersikap seperti para ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif, dan menghormati pendapat orang lain.
1.2 Lingkup Materi Pembelajaran
Lingkup materi yang tertuang dalam GBPP Bahasa Indonesia meliputi kesusastraan, kebahasaan, dan keterampilan. Pada kesempatan ini penulis membatasi topik pembicaraan pada bidang kebahasaan, khususnya masalah kalimat tunggal. Dalam pembicaraan ini dibahas pengertian kalimat tunggal, unsur-unsur kalimat tunggal, ciri-ciri unsur kalimat tunggal. Hal-hal tersebut akan diuraikan di bawah ini.
2.2.1 Pengertian kalimat tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa atau satu konstituen S-P. Jadi, unsur inti kalimat tunggal ialah subjek dan predikat (Rusyana & Samsuri, 1976). Dalam kalimat tunggal tentu saja terdapat semua unsur wajib yang diperlukan. Di samping itu, tidak mustahil ada pula unsur manasuka seperti keterangan tempat, waktu, dan sebagainya. Dengan demikian, kalimat tunggal tidak selalu dalam wujud yang pendek, tetapi juga dapat panjang (Alwi, et al., 1998). Contoh di bawah ini menjelaskan pernyataan tersebut
a. Dia akan pergi.
b. Kami mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia.
c. Mereka akan membentuk kelompok belajar.
d. Guru bahasa kami akan dikirim ke luar negeri.
e. Kami menempuh ujian seminggu yang akan datang.
2.2.2 Unsur-unsur kalimat tunggal
Seperti yang telah disinggung di atas, kalimat terdiri dari unsur-unsur fungsional yang di sini disebut S, P, O, dan Ket. Keempat unsur itu memang tidak selalu bersama-sama ada dalam satu kalimat. Kadang-kadang satu kalimat hanya terdiri dari S - P; S – P - O; S - P- Ket; S – P – O – Ket. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan masing-masing unsur kalimat tersebut dengan ciri-cirinya.
(a) subjek dan predikat
Kalau kita bandingkan berbagai-bagai susun kalimat, nyatalah kepada kita bahwa kata-kata itu tersusun menurut suatu aturan yang tetap. Aturan itu bukan hanya aturan hukum D-M, tetapi selain itu tiap-tiap kalimat nyata benar terjadi dari beberapa bagian yang tetap dan selalu kembali.
Kata-katanya boleh diganti dengan kata-kata lain, tetapi jabatan-jabatan itu selalu ada. Kita perhatikan contoh kalimat di bawah ini.
- Mereka bergembira.
Kalimat tersebut terjadi dari dua bagian yang nyata, Mereka dan bergembira, yang masing-masing menduduki suatu jabatan yang tentu. Baik Mereka maupun bergembira dalam kalimat itu boleh diganti dengan kata yang lain, tetapi jabatan yang diduduki kedua kata itu tetap ada. Perhatikanlah kalimat di bawah ini.
- Mereka bergembira
- Rumah itu besar
- Jalannya cepat.
- Berperang banyak makan ongkos
Dalam contoh-contoh di atas semua kata atau kumpulan kata sebelah kiri terjadi dari beberapa jenis kata, demikian pula kata atau kumpulan kata sebelah kanan; tetapi bagaimanapun semua kata atau kumpulan kata sebelah kiri sama jabatannya, demikian pula semua kata atau kumpulan kata sebelah kanan.
Jabatan kata-kata yang sebelah kiri disebut subjek atau pokok, yang sebelah kanan disebut predikat atau sebutan. Adapun jabatan subjek dan predikat ini tetap, meskipun susunan kalimat itu kita ubah, kita balikkan. Perhatikanlah:
- Bergembira mereka.
- Besar rumah itu.
- Cepat jalannya.
- Banyak makan ongkos berperang.
(b) ciri-ciri subjek
Kalau kita perhatikan kalimat-kalimat di atas, nyatalah kepada kita bahwa yang dimaksud dengan subjek adalah sesuatu yang dianggap berdiri sendiri, dan yang tentangnya diberitakan sesuatu. Oleh karena subjek itu isinya sesuatu yang berdiri sendiri, maka sudah semestinya biasanya terjadi dari kata benda: mereka, rumah itu. Atau kalau bukan kata benda yang dipakai sebagai subjek itu, dapatlah dianggap sebagai kata benda. Misalnya:
Jalannya - akhiran –nya di sini menyatakan kata benda, meskipun kata benda itu menyatakan suatu kerja.
Berperang - artinya di sini hal perang, dianggap sebagai kata benda.
Di samping itu, untuk menentukan subjek kita dapat bertanya dengan memakai kata tanya apa atau siapa di hadapan predikat. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditentukan ciri-ciri subjek sebagai berikut: (a) sesuatu yang menjadi pokok pembicaraan, (b) dibentuk dengan kata benda atau sesuatu yang dibendakan, (c) dapat bertanya dengan kata tanya apa atau siapa di hadapan predikat.
(c) ciri-ciri predikat
Bagian predikat adalah bagian yang memberi keterangan tentang sesuatu yang berdiri sendiri atau subjek itu. Memberi keterangan tentang sesuatu yang berdiri sendiri tentulah menyatakan apa yang dikerjakan atau dalam keadaan apakah subjek itu. Sebab itu, predikat biasanya terjadi dari kata kerja atau kata keadaan. Kita selalu dapat bertanya dengan memakai kata tanya mengapa, artinya dalam keadaan apa, bagaimana, atau mengerjakan apa? (Alisyahbana, 1978).
Bloomfield (1933) menyebut predikat dengan istilah verba finit yang berarti melaksanakan perbuatan. Lyons (1995) mengungkapkan bahwa predikat adalah keterangan yang dibuat mengenai orang atau barring itu. Sementara itu, Hockett, Alieva (1991) menyebut predikat dengan istilah sebutan dengan makna yang sama seperti yang diungkapkan oleh Lyons.
Ahli lain mengatakan bahwa predikat merupakan konstituen pokok yang disertai konstituen subjek di sebelah kiri, dan jika ada, konstituen objek, pelengkap, dan atau keterangan wajib di sebelah kanan. Predikat kalimat biasanya berupa frase verbal atau frase ajektival (Alwi, 1998). Sejalan dengan pendapat tersebut, Ramlan (1996) mengatakan bahwa predikat merupakan unsur klausa yang selalu ada dan merupakan pusat klausa karena memiliki hubungan dengan unsur-unsur lainnya, yaitu: dengan S, O, dan Ket.
Sakri (1995) mengungkapkan bahwa predikat itu sebagai puak kerja yang menduduki jabatan curaian dan menyatakan tindak atau perbuatan. Di pihak lain, Suparman (1988) memberikan penjelasan tentang predikat dengan menyebutkan ciri-ciri atau penanda formal predikat tersebut, yaitu: (a) penunjuk aspek: sudah, sedang, akan, yang selalu di depan predikat; (b) kata kerja bantu: boleh, harus, dapat; (c) kata penunjuk modal: mungkin, seharusnya, jangan-jangan; (d) beberapa keterangan lain: tidak, bukan, justru, memang, yang biasanya terletak di antara S dan P; dan (e) kata kerja kopula: ialah, adalah, merupakan, menjadi. Kopula mengandung pengertian merangkaikan. Kata-kata ini biasanya digunakan untuk merangkaikan predikat nominal dengan S-nya, khususnya FB – FB (Frase Benda – Frase Benda).
(d) ciri-ciri objek
Objek adalah konstituen kalimat yang kehadirannya dituntut oleh predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif. Letaknya selalu langsung setelah predikat. Dengan demikian, objek dapat dikenali dengan memperhatikan (a) jenis predikat yang dilengkapinya dan (b) ciri khas objek itu sendiri. Verba transitif biasanya ditandai oleh kehadiran afiks tertentu. Sufiks –kan dan –i serta prefiks meng- umumnya merupakan pembentuk verba transitif. Misalnya:
- Morten menundukkan Icuk.
Objek biasanya berupa nomina atau frase nominal. Jika objek tergolong nomina, frase nominal tak bernyawa, atau persona ketiga tunggal, nomina objek itu dapat diganti dengan pronomina –nya; dan jika berupa pronomina aku atau kamu (tunggal), bentuk –ku dan –mu dapat digunakan. Contoh:
- Andi mengunjungi Pak Rustam.
- Andi mengunjunginya.
Objek pada kalimat aktif transitif akan menjadi subjek jika kalimat itu dipasifkan seperti tampak pada contoh kalimat di bawah ini.
- Pembantu membersihkan ruangan saya.
- Ruangan saya dibersihkan oleh pembantu.
Potensi ketersulihan unsur objek dengan –nya dan pengedepanannya menjadi subjek kalimat pasif itu merupakan ciri utama yang membedakan objek dari pelengkap yang berupa nomina atau frase nominal.
(e) ciri-ciri keterangan
Keterangan merupakan fungsi sintaksis yang paling beragam dan paling mudah berpindah letak. Keterangan dapat berada di akhir, di awal, dan bahkan di tengah kalimat. Pada umumnya, kehadiran keterangan dalam kalimat bersifat manasuka. Konstituen keterangan biasanya berupa frase nominal, frase preposisional, atau frase adverbial. Perhatikan contoh di bawah ini.
a. Dia memotong rambutnya.
b. Dia memotong rambutnya di kamar.
c. Dia memotong rambutnya dengan gunting.
d. Dia memotong rambutnya kemarin.
Unsur di kamar, dengan gunting, dan kemarin pada contoh kalimat di atas merupakan keterangan yang sifatnya manasuka.
Makna keterangan ditentukan oleh perpaduan makna unsur-unsurnya. Dengan demikian, keterangan di kamar mengandung makna tempat, dengan gunting mengandung makna alat, dan kemarin mengandung makna waktu.
Berdasarkan makna seperti tersebut di atas, terdapat bermacam-macam keterangan berikut penandanya: (a) keterangan tempat, ditandai oleh: di, ke, dari, dalam, pada; (b) keterangan waktu, ditandai oleh: sebelum, sesudah, selama, sepanjang; (c) keterangan alat, ditandai oleh: dengan; (d) keterangan tujuan, ditandai oleh: agar/supaya, untuk, bagi, demi; (e) keterangan cara, ditandai oleh: dengan cara, secara, dengan jalan; (f) keterangan penyerta, ditandai oleh: dengan, bersama, beserta; (g) keterangan perbandingan, ditandai oleh: seperti, bagaikan, laksana; keterangan sebab, ditandai oleh: karena, sebab.
2.3 Langkah-langkah Pembelajaran dengan Model Inkuiri
Sesuai dengan pokok bahasan yang telah diuraikan di atas, maka langkah-langkah yang ditempuh dalam pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri adalah:
Tahap pertama
Sebelum guru mengemukakan masalah yang akan dikerjakan siswa, terlebih dahulu guru menentukan tingkah laku atau tujuan yang ingin dicapai dengan model inkuiri tanpa memberi informasi tentang teori kalimat tunggal, orientasi model, dan apersepsi. Selanjutnya, guru membagikan sebuah LKS yang di dalamnya terdapat bacaan kepada siswa dan mereka diberikan waktu beberapa menit untuk memahami bacaan tersebut.
Tahap kedua
Pada tahap ini guru mengajukan permasalahan (teka-teki) yang dapat menumbuhkan motivasi siswa untuk menemukan pendapatnya. Permasalahan tersebut berupa tugas untuk mengidentifikasi kalimat tunggal, menganalisis kalimat tunggal berdasarkan fungsi, menentukan ciri-ciri unsur kalimat tunggal, membuat penjelasan atau pengertian unsur-unsur kalimat tunggal, dan merumuskan kesimpulan kalimat tunggal.
Tahap ketiga
Pada tahap ini siswa menetapkan hipotesis/praduga jawaban untuk dikaji lebih lanjut. Hipotesis yang ditetapkan ini berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang diajukan oleh guru. Pada tahap ini terdapat dua kemungkinan yang muncul, yaitu: (1) siswa secara spontan melakukan penyelidikan atau penjelajahan tentang informasi/data untuk menguji hipotesis yang ditetapkan, baik secara individu maupun secara kelompok. Selanjutnya, siswa menarik kesimpulan; dan (2) siswa tidak banyak berusaha mencari informasi untuk membuktikan hipotesis. Di sinilah guru membantu siswa, mendorong melakukan kegiatan belajar untuk mencari informasi berkaitan dengan permasalahan yang diajukan guru. Jawaban guru atas pertanyaan siswa hanya berkisar ya atau tidak, karena dalam model inkuiri ini siswa sendiri yang menemukan jawaban permasalahan yang diberikan oleh guru.
Tahap keempat
Pada tahap ini siswa mengidentifikasi beberapa kemungkinan jawaban/menarik kesimpulan. Selanjutnya, guru mengumpulkan hasil penyelidikan/eksperimen untuk menjawab teka-teki atau permasalahan yang diajukan oleh guru. Caranya dengan menyuruh siswa untuk menunjukkan hasil pekerjaan mereka. Mereka disuruh untuk memperlihatkan bentuk-bentuk kalimat tunggal, unsur-unsurnya, dan ciri-ciri unsurnya, yang terdapat dalam bacaan yang telah dibagikan itu. Agar seluruh siswa yang ada dalam kelas terlibat untuk memecahkan permasalahan tersebut, maka setiap siswa mendapat giliran untuk memberikan alasan atau hasil pekerjaannya. Dengan demikian, siswa diarahkan untuk menjawab teka-teki atau permasalahan tersebut.
Tahap kelima
Pada tahap ini guru mengajak dan membimbing siswa untuk merumuskan dan menemukan sendiri teori tentang kalimat tunggal berdasarkan fakta-fakta yang mereka temukan dari hasil tanya jawab di dalam kelas. Dari fakta-fakta dan jawaban tersebut, mereka dapat merumuskan batasan kalimat tunggal. Selanjutnya, guru memberi komentar dan penjelasan tentang hasil temuan mereka dan menjelaskan kembali prinsip-prinsip atau konsep tentang kalimat tunggal, unsur-unsurnya, dan ciri-cirinya sehingga masalah tersebut dapat terjawab.
2.4 Dampak Instruksional dan Dampak Penyerta
Penerapan model inkuiri dalam pembelajaran bahasa Indonesia (kalimat tunggal) memberikan dampak instruksional dan dampak penyerta. Dampak instruksionalnya adalah: (a) keterampilan dalam proses ilmiah, yakni: mengadakan observasi, mengumpulkan dan mengorganisasikan data, mengidentifikasi dan mengontrol variabel, membuat dan mengetes hipotesis, merumuskan penjelasan, dan membuat kesimpulan; serta (b) strategi penyelidikan secara kreatif. Di sisi lain, dampak penyertanya adalah: (a) menimbulkan semangat kreativitas pada siswa, (b) memberikan kebebasan atau otonomi pada siswa dalam hal menyusun pertanyaan dan mengemukakan pendapat secara verbal, (c) memungkinkan kerja sama secara dua arah (guru-siswa dan siswa-siswa), dan (d) menekankan hakikat kesementaraan dari pengetahuan.
Di samping itu, model inkuiri yang diterapkan oleh siswa dalam pembelajaran dapat meningkatkan prestasi belajar atau kemampuan siswa tentang materi yang dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan temuan Schuncke (1988) dan Novac (1990) yang menunjukkan beberapa karakteristik keberhasilan penggunaan model inkuiri, yaitu: meningkatkan skor tes akademik, meningkatkan kontak psikoakademis pembelajar, memperkuat keyakinan diri, meningkatkan sikap positif dalam belajar, mengkondisikan siswa menjadi discover dan adventurer pengetahuan, meningkatkan self-concept dan self esteem, meningkatkan daya akomodasi ilmiah, meningkatkan motivasi belajar secara intrinsik, meningkatkan kemampuan dan strategi bernalar secara kritis, serta meningkatkan sikap dan perilaku positif terhadap mata pelajaran dan para guru selama berlangsungnya pembelajaran. Amien (1987) mengatakan bahwa model inkuiri melibatkan siswa secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu permasalahan yang diberikan guru. Dengan demikian, siswa akan terbiasa bersikap seperti para ilmuwan sains, yaitu: teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif, dan menghormati pendapat orang lain.
3. Penutup
Pada bagian ini dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan uraian di atas, yaitu: (a) inkuiri merupakan suatu proses yang ditempuh siswa untuk memecahkan masalah, merencanakan eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menarik kesimpulan. Jadi, dalam model inkuiri ini siswa terlibat secara mental maupun fisik untuk memecahkan suatu permasalahan yang diberikan guru. Dengan demikian, siswa akan terbiasa bersikap seperti para ilmuwan sains, yaitu teliti, tekun/ulet, objektif/jujur, kreatif, dan menghormati pendapat orang lain, (b) langkah-langkah yang ditempuh dalam pembelajaran dengan model inkuiri adalah: guru menyampaikan tujuan pembelajaran, orientasi model, dan apersepsi; guru mengajukan permasalahan (teka-teki); siswa menetapkan hipotesis; atas bimbingan guru, siswa mengumpulkan dan menganalisis data; dan siswa menarik kesimpulan, (c) dampak instruksional dan penyerta dari model inkuiri adalah: keterampilan dalam proses ilmiah, yakni: mengadakan observasi, mengumpulkan dan mengorganisasikan data, mengidentifikasi dan mengontrol variabel, membuat dan mengetes hipotesis, merumuskan penjelasan, dan membuat kesimpulan; serta strategi penyelidikan secara kreatif. Di sisi lain, dampak penyertanya adalah: menimbulkan semangat kreativitas pada siswa, memberikan kebebasan atau otonomi pada siswa dalam hal menyusun pertanyaan dan mengemukakan pendapat secara verbal, memungkinkan kerja sama secara dua arah (guru-siswa dan siswa-siswa), dan menekankan hakikat kesementaraan dari pengetahuan.
4. Daftar Pustaka
Alisyahbana, S.T. (1978). Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Alwi, H. et.al. (1998). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Amien, M. (1987). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Menggunakan Metode Discovery dan Inkuiry. Jakarta: Depdikbud.
Bloomfield, L. (1933). Language. Rinehart and Winston, Inc.
Bruce, W.C. & J.K. Bruce. (1992). Teaching with Inquiry. Maryland: Alpha Publishing Company, Inc.
Cleaf, D.W.V. (1991). Action in Elementary Social Studies. Singapore: Allyn and Bacon.
Dahar, R.W. (1991). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Depdikbud. (1993). Kurikulum Pendidikan Dasar GBPP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta: Depdikbud.
Hamalik, O. (1991). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Sinar Baru.
Joyce, B. & M. Weil. (1980). Models of Teaching. Boston-London: Allyn and Bacon.
Lyons, J. (1995). Introduction to Theoretical Linguistics. New York: Melbourne.
Mulyono, I. (1999). ‘Struktur Pasif Pesona Bahan Ajar Keterampilan Berbicara bagi Pembelajar Penutur Asing Level Lanjut (Advanced)’ dalam Makalah KIPBIPA IV. Bandung: IKIP Bandung.
Nurgiyantoro, B. (1995). Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Parera, J.D. (1997). Linguistik Edukasional: Metodologi Pembelajaran Bahasa, Analisis Kontrastif, Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Erlangga.
Ramlan, M. (1996). Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.
Roestiyah, N.K. (1998). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Rusyana, Y. & Samsuri. (1976). Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sakri, A. (1995). Bangun Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung: ITB.
Sund & Trowbridge. (1973). Teaching Science by Inquiry in the Secondary School. Columbus: Charles E. Merill Publishing Company.
Suparman, H. et.al. (1990). Relevansi Buku Teks Bahasa Indonesia dengan Buku Teks Bidang Studi Lain Kelas III SD Laboratorium Unud Singaraja. Laporan Penelitian Universitas Udayana.
Syamsuddin, A.R. (1999). Studi Wacana: Kajian Linguistik Komprehensif. Bandung: IKIP Bandung.
Trowbridge, L.W. & R.W. Bybee. (1990). Becoming a Secondary School Science Teacher. Melbourne: Merill Publishing Company.
No comments:
Post a Comment